Kamis, 03 Mei 2012

Langit

Aku suka melihat langit. Kapan pun waktunya, dimana pun tempatnya. Aku suka memandanginya lama sekali, seakan tak ingin menapaki bumi dan ingin terbang mendekat. Aku juga suka memperhatikannya, dikala tidak ada bebintang yang menghiasi, di waktu semua penghias langit enggan bekerja sama dengannya untuk memperlihatkan mahakarya Sang Pencipta.

Aku suka walau ia sedang sendu dan muram seakan enggan memperlihatkan cantiknya ia di kala malam. Aku tetap suka walau butiran hujan membuatnya kelam (namun sesungguhnya kekelamannya lah yang membuat butiran itu jatuh ke bumi), walau ribuan manusia mengeluh akan hadirnya ia dalam kelam.

Aku suka melihatnya, sangat.

Sahabat, semua kesukaanku ini berawal dari wisma. Wisma tempatku tinggal untuk belajar. Belajar tentang hidup, tentang mimpi, tentang persaudaraan. Anggota wisma yang selalu menyambutku hangat ketika  seabrek aktivitas kampus menggerogoti tenagaku.

Wismaku tak jauh dari sebuah mesjid megah di gang kecil sana. Wisma membiasakanku untuk senantiasa menyempatkan diri sholat di mesjid ketika magrib, isya, dan subuh tiba.

Sepanjang jalan menuju mesjid, aku selalu melihat langit. Damai..

Pada mulanya aku hanya berdecak kagum dan memuji Sang Pencipta atas ciptaanNya. Seiring berjalannya waktu, setiap aku melangkahkan kaki menuju mesjid, aku terbiasa melihat langit. Lama sekali. Entah magnet berkekuatan berapa yang menarikku untuk selalu melihatnya, hingga kadang aku hampir terjatuh karenanya. Sudah menjadi rutinitas baruku setiap kali pergi dan pulang mesjid, aku menatapnya dan ingin selalu menatap.

Pernah suatu ketika aku berjalan malas menuju Rumah Allah itu. Namun karena melihat langit, semangatku untuk melangkah membuncah. Hebat sekali dia. dia?

Tidak. Bukan langit. Aku tersadar. Bukan dia, melainkan Allah.

Ya! Allah yang mengingatkanku lewat langit. Allah lah yang membuatku terpesona akan ciptaanNya. Allah lah yang selalu menuntun langkahku menuju RumahNya. Dan Allah lah yang membuat aku tak henti melihat langit. Karena Allah tahu aku akan mengingatNya ketika aku melihat langit.

Sungguh.. Maha Kuasa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi beserta seluruh isinya.

Langit menjadi penyambung ketika hatiku ingin berbicara pada Rabbi. Langit menjadi saksi atas segala ekspresi dan kata-kataku untukNya. Namun langit juga menjadi pembatas, untuk aku bisa melihat Tuhanku.

Tepat 24 jam yang lalu aku membaca sebuah novel yang sangat hebat karya Tere-liye. "Rembulan Tenggelam di Wajahmu" judulnya. Pas sekali. aku menyukai langit, dan tokoh utama di novel itu menyukai rembulan. Dan aku mengutip beberapa kata dari buku ini yang menjadi inspirasiku menulis -lagi, di blogku yang telah lama tidak ku perhatikan.

"Ada satu janji Tuhan. Janji Tuhan yang sungguh hebat, yang nilainya beribu kali tak terhingga dibandingkan menatap rembulan ciptaanNya. Tahukah kau? Itulah janji menatap wajahNya. Menatap wajah Tuhan. Tanpa tabir, tanpa pembatas.. Saat itu terjadi maka sungguh seluruh rembulan di semesta alam tenggelam tiada artinya. Sungguh seluruh PESONA DUNIA akan layu. Percayalah selalu atas janji itu."

Semoga pesona dunia yang ada di hadapan kita dalam bentuk apapun itu, tidak akan membuat kita lupa tujuan hidup yang sebenar dan akan Dia, Sang pemilik segala pesona.

Kini aku sadar, pesona langit belum apa-apanya. Aku ingin melihat Pemilik segala pesona, dan saat itu langit tak lagi menjadi pembatas antara aku dan Dia.


Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "